Senin, 01 April 2013

TES YANG BAIK


KRITERIA ATAU CIRI TES YANG BAIK

PEMBAHASAN

A.Validitas
Di dalam buku Encyclopedia of Education yanaag di tulis oleh Scarvia B.Anderson dan kawan-kawan disebutkan: A test is valid if it measures what it perpose to measure, artinya sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak di ukur. Dalam bahasa indonesia “valid” disebut dengan istilah “sahih” (Suharsimi Arikunto,2003:65)
Sebuah data atau informasi dapat dikatakan valid apabila sesuai dengan kenyataan.Sebagai contoh, informasi tentang seorang bernama Adi menyebutkan bahwa si A pendek kerena tingginya tidak lebih dari 140 sentimeter.Data tentang si Adi dikatakan valid apabila memang sesuai dengan kenyataan, yakni bahwa tinggi Adi kurang dari 140 sentimeter.Contoh lain, data Budi yang diperoleh  dari cerita orang lain menunjukkan bahwa ia pembohong. Bukti bahwa si Budi pembohong diperoleh dari kenyataan bahwa si Budi sering berbicara tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian maka data tentang Budi tersebut valid dan cerita orang tersebut benar.
Jika data yang dihasilkan dari sebuah instrumen valid, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut valid, karena dapat memberikan gambaran tentang data secara benar sesuai dengan kenyataan atau keadaan sesungguhnya.
Cara yang digunakan untuk mengetahui validitas alat ukur yaitu menggunakan teknik korelasi product moment yang digunakan oleh pearson.Rumus korelasi product moment ada dua macam, yaitu:
1.Korelasi product moment dengan simpangan
           
2.Korelasi product moment dengan angka kasar
      
B.Daya Beda
            Daya beda atau pembeda adalah kemampuan sesuatu untuk membedakan antara data A dengan data B. Misalnya data A siswa yang pandai ( berkemampuan tinggi), dan data B siswa yang bodoh (berkemanpuan rendah). Daya pembeda bertujuan untuk membedakan antara siswa yang pandai dangan siswa yang bodoh.
            Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi, disingkat D. Indeks diskriminasi berkisar antara 0,00 sampai 1,00.indeks beda memiliki tiga titik yaitu:
                     -1.00                                           0,00                                              1.00
daya pembeda negatif
daya pembeda rendah
daya pembeda tinggi(positif
           
            Bagi sautu tes atau soal yang dapat dijawab benar oleh siswa pandai maupun siswa bodoh, maka soal itu tidak baik kerena tidak mempunyai daya beda.Demikian pula jika semua siswa baik pandai maupun bodoh tidak menjawab dengan benar.soal tersebut tidak baik juga kerena tidak mempunyai daya pembeda.Soal yang baik adalah soal yang dapat dijawab benar oleh siswa-siswa yang pandai saja.


C.Reliabilitas
            Kata reliabilitas dalam bahasa indonesia diambil dari kata reliability dalam bahasa Inggis, berasal dari kata asal reliable yang artinya dapat dipercaya.
            Tes dikatakan dapat dipercaya  (reliabel) jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali.Sebuah tes dikatakan reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut menujukkan ketetapan.Dengan kata lain, jika kepada siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan( rangking) yang sama dalam kelompoknya.tes yang menunjukkan ketetapan maka tes tersebut dapat dipercaya.Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.
            Jika validitas terkait dengan ketetapan objek yang tidak lain adalah tidak menyimpangnya data dari kenyataan, artinya bahwa data tersebut benar, maka konsep reliabilitas terkait dengan pemotretan berkali-kali.Instrumen yang baik adalah instrumen yang dapat dengan tetap memberikan data yang sesuai dengan kenyataan.
D.Objektivitas
           Objektivitas berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi.Lawan kata dari objektif adalah subjektif, artinya terdapat unsur pribadi yang memperngaruhi.Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam melakukan tes tidak ada faktor subjektif yang mempengaruhi.
E.Standarisasi
            Tes terstandart adalah tes yang telah dicobakan berkali-kali sehingga dapat di jamin kebaikannya.Di negara-negara berkembang  biasa tersedia tes semacam ini, dan di kenal dangan nama standardizedn test.sebuah tes terstandart biasanya memiliki identitas antara lain: sudah dicobakan berapa kali dan di mana, berapa koefisien validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, daya pembeda,  dan lain-lain keterangan yang dianggap perlu.



ANALISIS

 Nurkancana dalam Ahmad hamid(2009:124) mengemukakan bahwa baik buruknya suatu tes atau alat ukur dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
1.      Validitas
2.      Reliabilitas
3.      Tingkat kesukaran
4.      Daya beda
Dalam buku karangan Ahmad Hamid mengemukakan kriteria alat ukur atau tes yang baik yaitu :
A.Validitas
            Validitas atau kesahihan suatu instrumen dapat diartikan sebagai ketepatan dan kecermatan dalam fungsinya sebagai alat ukur atau tes.Alat tes dikatakan valid bila benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai dengan tujuan pengukuran.Azwar dalam Ahmad Hamid(2009:125) mengemukakan bahwa “ valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya suatu tes tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat”.
B.Daya Pembeda
            Daya pembeda(daya diskriminasi) dari suatu alat tes merupakan kemampuan alat ukur untuk membedakan antara siswa yang belum mampu dengan siswa yang sudah mampu.Dalam hal ini Azwar mengemukakan bahwa “Daya diskriminasi item adalah kemampuan item dalam membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan tinggi(diwakili oleh mereka yang termasuk kelompopk tinggi) dengan siswa yang mempunyai kemampuan rendah(diwakili oleh meraka yang termasuk dalam kelompok rendah).Sudijono mengemukakan “daya pembeda item itu dapat diketahui melalui atau dengan melihat besar kecilnya indeks diskriminasi item.”
C.Reliabilitas
            Reliabilitas dapat diartikan sebagai tingkat kepercayaan atau keterandalan.Azwar mengemukakan bahwa Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya.

 DAFTAR PUSTAKA

Arikunto suharsimi.2003.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta:Bumi Aksara
Hamid ahmad.2009.Evaluasi Pengajaran.Banda Aceh:Syiah Kuala University Press

Behavioristik


BEHAVIORISTIK

BAB I
PENDAHALUAN
A.    Latar Belakang
             Konseling merupakan suatu proses bantuan yang diberikan oleh seorang professional yaitu konselor kepada orang yang membutuhkan bantuan yang disebut dengan konseli sehingga konseli tersebut dapat mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dialaminya.
            Proses melakukan konseling ada hal yang perlu diperhatikan oleh seorang konselor yaitu teknik dan model konseling apa yang digunakan.model dan teknik digunakan sesuai dengan pribadi dan permasalahan konseli sehingga memudahkan konselor untuk membantu mengentaskan permasalahannya.
            Teori tentang model dan teknik konseling bermacam-macam, salah satunya adalah model konseling behavioritik/behaviorisme atau juga dikenal dengan teori tentang tingkah laku.teori behaviorisme berpendapat bahwa prilaku atau tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan disekitarnya.oleh karena itu untuk mengetahui dan memperjelas tentang teori dan model koseling behaviorisme maka pemakalah tertarik untuk membuat sebuah makalah yang berjudul”Teori dan Model Konseling Aliran Behaviorisme”

B.     Tujuan
v  Untuk memenuhi tugas mata kuliah teori dan model-model konseling
v  Untuk mengetahui model konseling behaviorisme
v  Untuk mengetahui konsep dasar konseling behaviorisme
v  Uuntuk mengetahui bagaimana pandangan behavior terhadap manusia dan hakikat monseling itu sendiri
v  Untuk mengetahui tujuan,fungsi dan peran konselor menurut behaviorisme
v  Untuk mengetahui teknik konseling behaviorisme
v  Mengetahui bagaiman peran konselor dan konseli
v  Mengetahui kelemahan dan kelebihan behaviorisme


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Filosofi

Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang dibentuk oleh lingkungan.behaviorisme  menekankan pada tingkah laku/perilaku manusia (individu) sebagai makhluk reaktif yang memberikan respon terhadap lingkungan di sekitarnya. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku orang tersebut.
Perkembangan pendekatan behavioral diawali pada tahun 1950-an dan awal 1960-an sebagai awal radikal menentang perspektif psikoanalisis yang dominan. Pendekatan ini dihasilkan berdasarkan hasil eksperimen tokoh behavioral yang memberikan sumbangan pada prinsip-prinsip belajar dalam tingkah laku manusia.
Tokoh-Tokoh behavior Beserta Teorinya
1.Edward Lee Thorndike ( S-R Bond / Connectionism )
Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara stimulus dan respon. Eksperimennya berupa kucing yang dimasukkan ke dalam sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka, secara otomatis knop di dalam sangkar menutup untuk menguji teori trial and error. Ciri-ciri belajar Trial and Error adalah adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap situasi, ada eliminasi terhadap respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Sehingga ia menemukan hukum berikut ini :
§  Hukum Kesiapan ( Law of Readiness ). Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
§  Hukum Latihan ( Law of Exercise ). Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut akan semakain kuat.
§  Hukum Efek ( Law of Effect )
Perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan akan cenderung diulang, dan sebaliknya perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang menyakitkan cenderung dihentikan.
Hukum akibat hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan akan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hal ini telah dibuktikan Ivan Petrovich Pavlov dan Watson Pavlov dalam eksperimennya terhadap anjing.
Keempat asas perubahan perilaku tersebut berkaitan dengan proses belajar, yaitu berubahnya perilaku tertentu menjadi perilaku baru.
2. Ivan Pavlov ( Classical Conditioning )
Dari eksperimen yang dilakukan terhadap seekor anjing, Pavlov menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
§  Law of Respondent Conditioning ( Pembiasaan ). Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan yang salah satunya berfungsi sebagai reinforce (peneguh) maka refleks dan stimulus yang lainnya akan meningkat.
§  Law of Respondent Extinction ( Pemusnahan ). Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce (peneguh), maka kekuatannya akan menurun.

3.B.F. Skinner ( Operant conditioning )
Tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus tetapi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau Operant yang dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Skinner mengemukakan dua prinsip yaitu :
§  Respon yang diikuti oleh reward ( penghargaan ) akan cenderung diulangi. ( Law Of Operant Extinction )
§  Reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon. ( Law of Operant Conditioning), contohnya penguatan positif,
Dalam Muhibin Syah, 2003 menyebutkan bahwa Operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
4.  John B. Watson
            John B. Watson menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan :
  • Teori tentang stimulus dan respons (S-R)
  • Penentu perilaku bukan unsur-unsur keturunan atau hederitas, tetapi unsur lingkungan
  • Watson tidak sependapat dengan teori perilaku yang didasarkan pada insting, hal ini karena insting hanya berlaku pada masa-masa tertentu.
  • Setiap perilaku dapat dikontrol karena ada hukum yang mengaturnya. Dengan memahami stimulus dan respon, perilaku tertentu dapat diprediksi secara ilmiah.
5. Albert Bandura ( Social Learning )
Teori Bandura memandang perilaku individu tidak semata-semata refleks otomatis atas stimulus ( S.R Bond ), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif (pikiran) individu itu sendiri. Prinsip teori belajar sosial (teori observational learning ) bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belaja
B.     Kepribadian
Dalam  pandangan behavioral, kepribadian manusia itu pada hakikatnya adalah perilaku. Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamannya berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Tidak ada manusia yang sama, karena kenyataannya manusia memiliki pengalaman yang berbeda dalam kehidupannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya.
Pandangan dualisme sebagaimana yang berkembang yaitu jiwa raga, mental fisik, sikap perilaku dan sebagainya bagi behavioral adalah tidak valid, tidak dapat dikenali dan dikendalikan dilaboratorium. Untuk itu, memahami kepribadian individu tidak lain adalah perilakunya yang tampak.
C.    Pandangan Terhadap hakikat Manusia

George & Cristiani (dalam Latipun, 2010: 88) menyatakan bahwa konseling behavioristik dalam menjalankan fungsinya berdasarkan atas asumsi-asumsi berikut:
1.      Memandang manusia secara intrinsik bukan sebagai baik atau buruk, tetapi sebagai hasil dari pengalaman yang memiliki potensi untuk segala jenis perilaku
2.       Manusia mampu untuk mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya
3.      Manusia mampu mendapatkan perilaku baru
4.      Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi orang lain.
Pernyataan tersebut serupa seperti apa yang di sampaikan Winkel & Hastuti (2004: 420) bahwa konseling behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis yaitu:
1.      Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku  baik atau buruk, tepat atau salah.
2.      Manusia mampu berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri
3.      Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui proses belajar
4.      Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinyapun dipengaruhi oleh orang lain.
Pendekatan behavioral tidak mengesampingkan pentingnya hubungan klien/terapis atau potensi klien untuk membuat pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut, dapat dikemukakan beberapa konsep kunci tentang hakikat manusia sebagai berikut :
a.       Tingkah laku manusia diperoleh dari belajar, dan proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kematangan dan belajar. Terbentuknya tingkah laku, baik positif maupun negatif diperoleh dari belajar.
b.      Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya dengan lingkungannya. Interaksi yang dapat diamati antara individu dengan lingkungan, interaksi ini ditentukan bentuknya oleh tujuan, baik yang berasal dari diri pribadi maupun yang dipaksakan oleh lingkungan.
c.       Setiap orang lahir dengan membawa kebutuhan bawaan, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari dari interaksi dengan lingkungan. Mula-mula individu banyak tergantung pada sumber kepuasan eksternal, namun semakin matang kekuatan penguat internal semakin penting.
d.      Manusia bukanlah hasil dari conditioning sosial/kultural mereka, namun sebaliknya manusia adalah produser (penghasil) dan hasil dari lingkungannya. Kecenderungan saat ini adalah mengarah pada prosedur perkembangan yang nyata memberikan pengontrolan pada diri para klien.
e.       Manusia tidak lahir baik atau jahat tetapi netral, bagaimana kepribadian seseorang dikembangkan tergantung pada interaksinya dengan lingkungan. Dengan kata lain, dapat saja manusia menjadi baik atau sebaliknya tergantung dari bagaimana ia belajar dalam interaksi dengan lingkungan.
f.       Manusia mempunyai tugas untuk berkembang, dan semua tugas perkembang yang harus diselesaikan dengan belajar. Hidup adalah serangkaian tugas yang dipelajari. Keberhasilan belajar akan menimbulkan suatu kepuasan, sedangkan kegagalan berakibat ketidakpuasan dan penolakan sosial.
D.    Hakikat Konseling
Konseling identik dengan pemberian bantuan, penyuluhan dan hubungan timbal balik antara konselor (yang memberikan konseling) dan konseli (yang membutuhkan bantuan/klien). Menurut Patterson, konseling memiliki ciri khas yang merupakan hakekat konseling. Ciri-ciri itu adalah:
a.       Konseling berurusan dengan upaya mempengaruhi perubahan tingkah laku secara sadar pada pihak klien (klien mau mengubahnya dan mencari bantuan konselor bagi perubahan ini).
b.      Tujuan konseling adalah mendapatkan kondisi-kondisi yang memudahkan perubahan secara sadar (kondisi-kondisi dimaksud berupa hak-hak individual untuk membuat pilihan, untuk mandiri dan “berswatantra”, autonomous).
c.       Sebagaimana dalam sebuah hubungan, terdapat pembatasan-pembatasan tertentu bagi konseli (pembatasan-pembatasan ditentukan oleh tujuan-tujuan konseling yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan falsafah konselor).
d.      Kondisi-kondisi yang memudahkan perubahan tingkahlaku diperoleh melalui wawancara-wawancara (tidak seluruh konseling adalah wawancara, tetapi konseling selalu melibatkan wawancara).
e.       Mendengarkan (dengan penuh perhatian) berlangsung dalam konseling tapi tidak seluruh konseling melulu mendengarkan.
f.       Konselor memahami kliennya (perbedaan antara cara orang-orang lain dengan cara konselor dalam melakukan pemahaman lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif dan pemahaman belaka tidak menjadi pembeda antara situasi konseling dengan situasi lain).
g.       Keberadaan konseling bersifat pribadi (privacy) dan diskusi atau pembicaraan bersifat rahasia, dasarnya bersifat rahasia (confidential).

E.     Ciri behaviorisme

Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni: Mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis), Mementingkan bagian-bagian (elentaristis), Mementingkan peranan reaksi (respon), Mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar, Mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu, Mementingkan pembentukan kebiasaan dan Ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal’ atau trial and error.
F.     Neurosis
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakekatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah. Manusia bermasalah mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungan.
G.    Terapeutik
Tujuan-tujuan terapeutik
Tujuan umum terapi behavior/tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari.
Krumboltz dan thorensen (dikutip dari Huber dan Millman, 1972,hal.347) telah mengembangkan 3 kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku sebagai berikut:
1)      Tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien
2)      Konselor harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan
3)      Harus terdapat kemungkinan untuk  menaksir sejauh mana klien bisa mencapai tujuannya
Tugas terapis adalah mendengarkan kesulitan klien secara aktif dan empatik. Terapis memantulkan kembali apa yang dipahaminya untuk memastikan apakah persepsinya tentang pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan klien benar. Lebih dari itu, terapis membantu klien menjabarkan bagaimana dia akan bertindak di luar cara-cara yang ditempuh sebelumnya.
Fungsi dan peran terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkahlaku yang baru dan adjustive.
Goodstain (1972) juga menyebut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut Goodstain (hal.274),”peran konselor adalah menunjang perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klien semacam itu”. Minat, perhatian, dan persetujuan (ataupun ketidakberminatan, dan ketidaksetujuan) terapis adalah penguat-penguat yang hebat bagi tingkah laku klien. Penguat-penguat tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa disertai kesadaran penuh dari terapis.
Satu fungsi penting lainnya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Bandura, menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku oranglain. Ia mengungkapkan bahwa  salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau percontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Bagi terapis, tidak menyadari kekuatan yang dimilikinya dalam mempengaruhi dan membentuk  cara berfikir dan bertindak kliennya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri dalam proses terapis.

Hubungan antara terapis dan klien
Ada suatu kecenderungan yang menjadi bagian dari sejumlah kritik untuk menggolongkan hubungan antara terapis dan klien dalam terapi tingkah laku sebagai hubungan yang mekanis, manipulatif, dan sangat impersonal. Menurut Wolpe (1958, 1969), menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Sebagaimana disinggung dimuka, peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi kekuatan. Para terapis tingkah laku tidak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin-mesin yang diprogram yang memaksakan teknik-teknik kepada para klien yang mirip robot. 
Bagaimanapun, tampak bahwa pada umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama kepada variabel-variabel hubungan terapis-klien. Sekalipun demikian, sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalah kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik. Tentang persoalan ini, Goldstain (1973, hlm.220) menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja membentuk tahap bagi kelangsungan terapi, ia mencatat bahwa “hubungan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai pemaksimal terapi yang efektif”. Sebelum intervensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan, terapis terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa :
·         Ia memahami dan menerima pasien
·         Kedua orang  diantara mereka bekerja sama
·         Terapis memiliki alat yang berguna dalam membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.

H.    Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
  • Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
  • Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
  • Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
  • Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
  • Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
I.       Teknik dan Prosedur
1)      Training Relaksasi, merupakan teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah tinggi dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini sebagai relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan mengambil posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan otot secara bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik nafas yang dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
2)      Desensitisasi Sistemik, merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan pada penanganan situasi penghasil kecemasan seperti situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik serta impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana klien dilatih untuk santai dan keadaan-keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.
3)      Latihan Asertif, merupakan teknik terapi yang menggunakan prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi. Latihan asertif ini akan membantu bagi orang-orang yang:
  • Tidak mampu mengungkapkan kemarahan/perasaan tersinggung
  • Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya
  • Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’
  • Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya
  • Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri
 terapi ini adalah mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
4)      Pencontohan (modelling methods), melalui proses pembelajaran observasi, para klien dapat belajar untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar trial-and-error. Teknik dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya, seseorang yang takut ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi dengan melihat orang lain yang tidak takut menghadapi ular.
5)      - Self-Management Programs, Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku, dengan asumsi bahwa klienlah yang paling tau apa yang mereka butuhkan. Konselor yang mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak, disini konselor merupakan mediator.
- Self-Directed Behavior, merupakan teknik dimana perubahan perilaku diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah harus merasa bahwa terapi ini penting untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, dalam masalah obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu misalnya meminta klien untuk menuliskan program perubahan dirinya dalam diari. Jam berapa dan berapa kali ia akan makan. Jika ia tidak berhasil, ia harus menuliskan perasaan dan sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya. Atau jika program telah dijalankan, klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri misalnya pergi shopping.
6)      Multimodal Terapi, didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien selama terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami masalah lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior, affective respons, sensations, images, cognitions, interpersonal relationships, dan drugs/biology).


DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
Nurhasah dan Husen. 2011. Modul Teorri dan Model- Model Konseling. Banda Aceh: Darussalam.