BEHAVIORISTIK
BAB I
PENDAHALUAN
A. Latar Belakang
Konseling merupakan suatu proses bantuan yang
diberikan oleh seorang professional yaitu konselor kepada orang yang
membutuhkan bantuan yang disebut dengan konseli sehingga konseli tersebut dapat
mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dialaminya.
Proses melakukan konseling ada hal
yang perlu diperhatikan oleh seorang konselor yaitu teknik dan model konseling
apa yang digunakan.model dan teknik digunakan sesuai dengan pribadi dan
permasalahan konseli sehingga memudahkan konselor untuk membantu mengentaskan
permasalahannya.
Teori tentang model dan teknik
konseling bermacam-macam, salah satunya adalah model konseling
behavioritik/behaviorisme atau juga dikenal dengan teori tentang tingkah
laku.teori behaviorisme berpendapat bahwa prilaku atau tingkah laku seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan disekitarnya.oleh karena itu untuk mengetahui dan
memperjelas tentang teori dan model koseling behaviorisme maka pemakalah
tertarik untuk membuat sebuah makalah yang berjudul”Teori dan Model Konseling
Aliran Behaviorisme”
B. Tujuan
v Untuk memenuhi tugas mata kuliah teori dan model-model konseling
v Untuk mengetahui model konseling behaviorisme
v Untuk mengetahui konsep dasar konseling behaviorisme
v Uuntuk mengetahui bagaimana pandangan behavior
terhadap manusia dan hakikat monseling itu sendiri
v Untuk mengetahui tujuan,fungsi dan peran konselor menurut
behaviorisme
v Untuk mengetahui teknik konseling behaviorisme
v Mengetahui bagaiman peran konselor dan konseli
v Mengetahui kelemahan dan kelebihan behaviorisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filosofi
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang
tingkah laku manusia yang dibentuk oleh lingkungan.behaviorisme menekankan pada tingkah laku/perilaku manusia
(individu) sebagai makhluk reaktif yang memberikan respon terhadap lingkungan
di sekitarnya. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku orang
tersebut.
Perkembangan pendekatan behavioral diawali pada
tahun 1950-an dan awal 1960-an sebagai awal radikal menentang perspektif
psikoanalisis yang dominan. Pendekatan ini dihasilkan berdasarkan hasil
eksperimen tokoh behavioral yang memberikan sumbangan pada prinsip-prinsip
belajar dalam tingkah laku manusia.
Tokoh-Tokoh behavior
Beserta Teorinya
1.Edward Lee Thorndike
( S-R Bond / Connectionism )
Belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara stimulus dan respon. Eksperimennya berupa kucing yang
dimasukkan ke dalam sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka, secara
otomatis knop di dalam sangkar menutup untuk menguji teori trial and error.
Ciri-ciri belajar Trial and Error adalah adanya aktivitas, ada berbagai respon
terhadap situasi, ada eliminasi terhadap respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi
mencapai tujuan. Sehingga ia menemukan hukum berikut ini :
§ Hukum
Kesiapan ( Law of Readiness ). Jika
suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka
pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.
§ Hukum
Latihan ( Law of Exercise ). Semakin
sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut akan
semakain kuat.
§ Hukum
Efek ( Law of Effect )
Perilaku yang
menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan akan cenderung diulang, dan sebaliknya
perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang menyakitkan cenderung dihentikan.
Hukum akibat hubungan stimulus dan respon cenderung
diperkuat bila akibat menyenangkan dan akan cenderung diperlemah jika akibatnya
tidak memuaskan. Hal ini telah dibuktikan Ivan Petrovich Pavlov dan Watson
Pavlov dalam eksperimennya terhadap anjing.
Keempat
asas perubahan perilaku tersebut berkaitan dengan proses belajar, yaitu
berubahnya perilaku tertentu menjadi perilaku baru.
2.
Ivan Pavlov ( Classical Conditioning )
Dari eksperimen
yang dilakukan terhadap seekor anjing, Pavlov menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
§ Law
of Respondent Conditioning ( Pembiasaan ). Jika
dua macam stimulus dihadirkan secara simultan yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforce (peneguh) maka refleks dan stimulus yang lainnya akan
meningkat.
§ Law
of Respondent Extinction ( Pemusnahan ). Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforce (peneguh), maka kekuatannya akan menurun.
3.B.F.
Skinner ( Operant conditioning )
Tingkah laku
bukanlah sekedar respon terhadap stimulus tetapi merupakan suatu tindakan yang
disengaja atau Operant yang dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya.
Skinner mengemukakan dua prinsip yaitu :
§ Respon
yang diikuti oleh reward ( penghargaan ) akan cenderung diulangi. ( Law Of
Operant Extinction )
§ Reward
akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon. ( Law of Operant Conditioning),
contohnya penguatan positif,
Dalam Muhibin Syah, 2003 menyebutkan
bahwa Operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan.
4. John B. Watson
John
B. Watson menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan :
- Teori
tentang stimulus dan respons (S-R)
- Penentu
perilaku bukan unsur-unsur keturunan atau hederitas, tetapi unsur
lingkungan
- Watson
tidak sependapat dengan teori perilaku yang didasarkan pada insting, hal
ini karena insting hanya berlaku pada masa-masa tertentu.
- Setiap
perilaku dapat dikontrol karena ada hukum yang mengaturnya. Dengan
memahami stimulus dan respon, perilaku tertentu dapat diprediksi secara
ilmiah.
5. Albert Bandura (
Social Learning )
Teori
Bandura memandang perilaku individu tidak semata-semata refleks otomatis atas
stimulus ( S.R Bond ), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif (pikiran) individu itu
sendiri. Prinsip teori belajar sosial (teori observational learning ) bahwa
yang dipelajari individu terutama dalam belaja
B. Kepribadian
Dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia itu
pada hakikatnya adalah perilaku. Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap
pengalamannya berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Tidak ada
manusia yang sama, karena kenyataannya manusia memiliki pengalaman yang berbeda
dalam kehidupannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman,
yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya.
Pandangan dualisme sebagaimana yang berkembang yaitu
jiwa raga, mental fisik, sikap perilaku dan sebagainya bagi behavioral adalah
tidak valid, tidak dapat dikenali dan dikendalikan dilaboratorium. Untuk itu,
memahami kepribadian individu tidak lain adalah perilakunya yang tampak.
C.
Pandangan Terhadap hakikat Manusia
George
& Cristiani (dalam Latipun, 2010: 88) menyatakan bahwa konseling
behavioristik dalam menjalankan fungsinya berdasarkan atas asumsi-asumsi
berikut:
1.
Memandang manusia secara
intrinsik bukan sebagai baik atau buruk, tetapi sebagai hasil dari pengalaman
yang memiliki potensi untuk segala jenis perilaku
2.
Manusia mampu untuk
mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya
3.
Manusia mampu mendapatkan
perilaku baru
4.
Manusia dapat mempengaruhi
perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi orang lain.
Pernyataan
tersebut serupa seperti apa yang di sampaikan Winkel & Hastuti (2004: 420)
bahwa konseling behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat
manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis
yaitu:
1.
Manusia pada dasarnya tidak
berakhlak baik atau buruk. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah
laku baik atau buruk, tepat atau salah.
2.
Manusia mampu berefleksi atas
tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta
mengontrol perilakunya sendiri
3.
Manusia mampu untuk memperoleh
dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui proses belajar
4.
Manusia dapat mempengaruhi perilaku
orang lain dan dirinyapun dipengaruhi oleh orang lain.
Pendekatan behavioral tidak mengesampingkan
pentingnya hubungan klien/terapis atau potensi klien untuk membuat
pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut, dapat dikemukakan beberapa
konsep kunci tentang hakikat manusia sebagai berikut :
a. Tingkah laku manusia diperoleh dari
belajar, dan proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kematangan
dan belajar. Terbentuknya tingkah laku, baik positif maupun negatif diperoleh
dari belajar.
b. Kepribadian manusia berkembang
bersama-sama dengan interaksinya dengan lingkungannya. Interaksi yang dapat
diamati antara individu dengan lingkungan, interaksi ini ditentukan bentuknya
oleh tujuan, baik yang berasal dari diri pribadi maupun yang dipaksakan oleh
lingkungan.
c. Setiap orang lahir dengan membawa
kebutuhan bawaan, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari dari interaksi
dengan lingkungan. Mula-mula individu banyak tergantung pada sumber kepuasan
eksternal, namun semakin matang kekuatan penguat internal semakin penting.
d. Manusia bukanlah hasil dari
conditioning sosial/kultural mereka, namun sebaliknya manusia adalah produser
(penghasil) dan hasil dari lingkungannya. Kecenderungan saat ini adalah
mengarah pada prosedur perkembangan yang nyata memberikan pengontrolan pada
diri para klien.
e. Manusia tidak lahir baik atau jahat
tetapi netral, bagaimana kepribadian seseorang dikembangkan tergantung pada
interaksinya dengan lingkungan. Dengan kata lain, dapat saja manusia menjadi
baik atau sebaliknya tergantung dari bagaimana ia belajar dalam interaksi
dengan lingkungan.
f. Manusia mempunyai tugas untuk
berkembang, dan semua tugas perkembang yang harus diselesaikan dengan belajar.
Hidup adalah serangkaian tugas yang dipelajari. Keberhasilan belajar akan
menimbulkan suatu kepuasan, sedangkan kegagalan berakibat ketidakpuasan dan
penolakan sosial.
D.
Hakikat Konseling
Konseling
identik dengan pemberian bantuan, penyuluhan dan hubungan timbal balik antara
konselor (yang memberikan konseling) dan konseli (yang membutuhkan bantuan/klien).
Menurut Patterson, konseling memiliki ciri khas yang merupakan hakekat
konseling. Ciri-ciri itu adalah:
a. Konseling berurusan dengan upaya
mempengaruhi perubahan tingkah laku secara sadar pada pihak klien (klien mau
mengubahnya dan mencari bantuan konselor bagi perubahan ini).
b. Tujuan konseling adalah mendapatkan
kondisi-kondisi yang memudahkan perubahan secara sadar (kondisi-kondisi
dimaksud berupa hak-hak individual untuk membuat pilihan, untuk mandiri dan
“berswatantra”, autonomous).
c. Sebagaimana dalam sebuah hubungan,
terdapat pembatasan-pembatasan tertentu bagi konseli (pembatasan-pembatasan
ditentukan oleh tujuan-tujuan konseling yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan
falsafah konselor).
d. Kondisi-kondisi yang memudahkan
perubahan tingkahlaku diperoleh melalui wawancara-wawancara (tidak seluruh
konseling adalah wawancara, tetapi konseling selalu melibatkan wawancara).
e. Mendengarkan (dengan penuh
perhatian) berlangsung dalam konseling tapi tidak seluruh konseling melulu
mendengarkan.
f. Konselor memahami kliennya
(perbedaan antara cara orang-orang lain dengan cara konselor dalam melakukan
pemahaman lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif dan pemahaman belaka
tidak menjadi pembeda antara situasi konseling dengan situasi lain).
g. Keberadaan konseling bersifat pribadi (privacy)
dan diskusi atau pembicaraan bersifat rahasia, dasarnya bersifat rahasia (confidential).
E. Ciri
behaviorisme
Untuk mempermudah mengenal teori belajar
behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni: Mementingkan pengaruh
lingkungan (environmentalistis), Mementingkan
bagian-bagian (elentaristis), Mementingkan
peranan reaksi (respon), Mementingkan
mekanisme terbentuknya hasil belajar, Mementingkan
hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu, Mementingkan
pembentukan kebiasaan dan Ciri
khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal’ atau trial and error.
F. Neurosis
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau
kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat yaitu tingkah
laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah
hakekatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah. Manusia
bermasalah mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungan.
G. Terapeutik
Tujuan-tujuan
terapeutik
Tujuan umum terapi behavior/tingkah laku adalah
menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Terapi tingkah laku pada
hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya terdapat
respons-respons yang layak, namun belum dipelajari.
Krumboltz dan thorensen (dikutip dari Huber dan
Millman, 1972,hal.347) telah mengembangkan 3 kriteria bagi perumusan tujuan
yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku sebagai berikut:
1)
Tujuan yang dirumuskan haruslah
tujuan yang diinginkan oleh klien
2)
Konselor harus bersedia
membantu klien dalam mencapai tujuan
3)
Harus terdapat kemungkinan
untuk menaksir sejauh mana klien bisa
mencapai tujuannya
Tugas terapis adalah mendengarkan kesulitan klien secara
aktif dan empatik. Terapis memantulkan kembali apa yang dipahaminya untuk
memastikan apakah persepsinya tentang pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan
klien benar. Lebih dari itu, terapis membantu klien menjabarkan bagaimana dia
akan bertindak di luar cara-cara yang ditempuh sebelumnya.
Fungsi dan peran
terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan
direktif dalam pemberian treatment, yakni
terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah
manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai
guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan
dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada
tingkahlaku yang baru dan adjustive.
Goodstain (1972) juga menyebut peran terapis sebagai
pemberi perkuatan. Menurut Goodstain (hal.274),”peran konselor adalah menunjang
perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sistematis
memperkuat jenis tingkah laku klien semacam itu”. Minat, perhatian, dan
persetujuan (ataupun ketidakberminatan, dan ketidaksetujuan) terapis adalah
penguat-penguat yang hebat bagi tingkah laku klien. Penguat-penguat tersebut
bersifat interpersonal dan melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta
acap kali tanpa disertai kesadaran penuh dari terapis.
Satu fungsi penting lainnya adalah peran terapis
sebagai model bagi klien. Bandura, menunjukkan bahwa sebagian besar proses
belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan
terhadap tingkah laku oranglain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa
mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau percontohan sosial yang
disajikan oleh terapis. Bagi terapis, tidak menyadari kekuatan yang dimilikinya
dalam mempengaruhi dan membentuk cara
berfikir dan bertindak kliennya, berarti mengabaikan arti penting
kepribadiannya sendiri dalam proses terapis.
Hubungan antara terapis
dan klien
Ada suatu kecenderungan yang menjadi bagian dari
sejumlah kritik untuk menggolongkan hubungan antara terapis dan klien dalam
terapi tingkah laku sebagai hubungan yang mekanis, manipulatif, dan sangat
impersonal. Menurut Wolpe (1958, 1969), menyatakan bahwa pembentukan hubungan
pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses
terapeutik. Sebagaimana disinggung dimuka, peran terapis yang esensial adalah
peran sebagai agen pemberi kekuatan. Para terapis tingkah laku tidak dicetak
untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka
menjadi mesin-mesin yang diprogram yang memaksakan teknik-teknik kepada para
klien yang mirip robot.
Bagaimanapun, tampak bahwa pada umumnya terapis
tingkah laku tidak memberikan peran utama kepada variabel-variabel hubungan
terapis-klien. Sekalipun demikian, sebagian besar dari mereka mengakui bahwa
faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif, dan
penerimaan adalah kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, bagi
kemunculan perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik. Tentang persoalan
ini, Goldstain (1973, hlm.220) menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja
membentuk tahap bagi kelangsungan terapi, ia mencatat bahwa “hubungan semacam
itu dalam dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai pemaksimal terapi yang
efektif”. Sebelum intervensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu
derajat keefektifan, terapis terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer
kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa :
·
Ia memahami dan menerima pasien
·
Kedua orang diantara mereka bekerja sama
·
Terapis memiliki alat yang
berguna dalam membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.
H. Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
- Memodifikasi
tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk
merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang
cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan
melalui tingkah laku klien.
- Mengurangi
frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
- Memberikan
penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya
kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
- Mengkondisikan
pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape
recorder, atau contoh nyata langsung).
- Merencanakan
prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan
sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk
materi maupun keuntungan sosial.
I. Teknik dan Prosedur
1) Training Relaksasi,
merupakan teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari, yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik,
tekanan darah tinggi dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan
metode ini sebagai relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta
rileks dan mengambil posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan
merilekskan otot secara bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik
nafas yang dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
2) Desensitisasi Sistemik,
merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat
diterapkan pada penanganan situasi penghasil kecemasan seperti situasi
interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang
digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik serta impotensi dan frigiditas
seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana klien dilatih untuk santai dan
keadaan-keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan
atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari
yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan
stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan
stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara
stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.
3)
Latihan Asertif, merupakan teknik terapi yang menggunakan
prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi. Latihan asertif ini akan
membantu bagi orang-orang yang:
- Tidak
mampu mengungkapkan kemarahan/perasaan tersinggung
- Menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya
- Memiliki
kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’
- Mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya
- Merasa
tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran
sendiri
terapi ini adalah mempraktekkan
kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan peran sehingga
individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya dan belajar
mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara terbuka disertai
kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka
itu.
4) Pencontohan (modelling
methods), melalui proses pembelajaran observasi, para klien dapat belajar
untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar
trial-and-error. Teknik dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya,
seseorang yang takut ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi
dengan melihat orang lain yang tidak takut menghadapi ular.
5)
- Self-Management Programs, Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif
dalam proses perubahan perilaku, dengan asumsi bahwa klienlah yang paling tau
apa yang mereka butuhkan. Konselor yang mempertimbangkan apakah sesi terapi
berjalan baik atau tidak, disini konselor merupakan mediator.
- Self-Directed Behavior, merupakan teknik dimana perubahan
perilaku diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah harus merasa bahwa
terapi ini penting untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, dalam masalah
obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu misalnya meminta klien untuk
menuliskan program perubahan dirinya dalam diari. Jam berapa dan berapa kali ia
akan makan. Jika ia tidak berhasil, ia harus menuliskan perasaan dan
sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya. Atau jika program telah dijalankan,
klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri misalnya pergi shopping.
6) Multimodal Terapi,
didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien
selama terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami
masalah lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior,
affective respons, sensations, images, cognitions, interpersonal relationships,
dan drugs/biology).
DAFTAR
PUSTAKA
Corey, Gerald. 2009. Teori dan
Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
Nurhasah dan Husen. 2011. Modul Teorri dan Model- Model Konseling.
Banda Aceh: Darussalam.